السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Bintan, Kampus Bersendikan Wahyu Berteraskan Ilmu — Hari kedua pelaksanaan The 2nd Islamic and Malay Studies International Conference (IMSIC) 2025 di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sultan Abdurrahman Kepulauan Riau menampilkan Special Panel 3 bertajuk “Challenges and Innovations for Sustainable Society amid Digital Era.” Panel ilmiah ini menghadirkan dua narasumber, yakni Dr. Drs. Almahfuz, M.Si, Wakil Ketua II STAIN SAR Kepri, dan Dr. Nova Dwiyanti, M.Kom, Ketua Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) dengan Dr. Supri Yadin Hasibuan, M.Si sebagai moderator.
Diskusi
ini menjadi ruang ilmiah yang mempertemukan dua perspektif penting: budaya dan
teknologi. Kedua narasumber menyoroti tantangan pembentukan masyarakat
berkelanjutan di tengah derasnya arus digitalisasi yang memengaruhi perilaku,
pola pikir, dan karakter generasi muda.
Dalam
presentasinya yang berjudul “Implementasi Tunjuk Ajar Melayu sebagai Benteng
Karakter di Era Digital,” Dr. Almahfuz mengangkat keprihatinan terhadap
meningkatnya krisis moral di kalangan remaja. Berdasarkan data nasional,
tercatat lebih dari 14.000 kasus kenakalan dan kriminalitas remaja pada
semester pertama tahun 2025. Menurutnya, angka tersebut mencerminkan lemahnya
pendidikan karakter yang adaptif terhadap perubahan zaman.
Ia
menilai bahwa era digital membawa paradoks sosial. Di satu sisi, teknologi
memberikan kemudahan akses informasi, namun di sisi lain, menciptakan distraksi
yang mengikis nilai-nilai etika dan spiritualitas.
“Kehilangan interaksi langsung dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat telah membuat generasi muda belajar nilai-nilai kehidupan dari layar, bukan dari keteladanan,” ujarnya.


Sebagai
solusi, Tunjuk Ajar Melayu (TAM) ditawarkan sebagai alternatif penguatan moral
dan spiritual di tengah transformasi digital. TAM, menurutnya, bukan sekadar
warisan sastra klasik, tetapi kompas moral yang menuntun manusia untuk hidup
beradab dan bertanggung jawab.
“Tunjuk
Ajar Melayu adalah sumber nilai yang tak lekang oleh waktu, mengajarkan
kejujuran, kesopanan, dan kearifan dalam bersikap,” tambahnya.
Lebih
jauh, Dr. Almahfuz menekankan bahwa nilai-nilai dalam TAM sejatinya telah
terintegrasi dengan ajaran Islam. Prinsip “adat bersendi syarak, syarak
bersendi Kitabullah” menjadi bukti kuat bahwa kebudayaan Melayu tumbuh
dalam kerangka spiritual yang kokoh.
“Adat
semata Qur’an dan Sunnah adalah pedoman utama yang meneguhkan peradaban
Melayu-Islam,” jelasnya.
Nilai-nilai
universal yang terkandung dalam TAM meliputi ketakwaan, kejujuran,
kedisiplinan, kerja keras, dan tanggung jawab sosial. Contohnya, ungkapan “Jujurnya
sampai ke sumsum tulang” mengandung makna mendalam tentang integritas diri
yang menjadi dasar dalam membangun masyarakat bermoral.
Dalam
konteks pendidikan modern, Dr. Almahfuz mengusulkan integrasi Tunjuk Ajar
Melayu dalam kurikulum digital. Ia menilai, pendidikan karakter tidak lagi
dapat disampaikan hanya secara konvensional, tetapi perlu ditransformasikan ke
dalam bentuk interaktif dan adaptif terhadap gaya belajar generasi
digital-native.
Strategi implementasi yang diusulkan mencakup pengembangan modul digital interaktif berbasis sastra Melayu klasik seperti Hikayat Bayan Budiman, yang dapat menginternalisasi nilai-nilai karakter melalui narasi edukatif. Selain itu, nyanyian rakyat Melayu seperti Lagu Melayu Sambas juga dinilai efektif karena mengandung hingga 14 nilai karakter utama, termasuk religiusitas, disiplin, dan tanggung jawab sosial.


Ia
menegaskan bahwa digitalisasi seharusnya tidak dipandang sebagai ancaman,
melainkan peluang untuk memperluas akses penyebaran nilai-nilai luhur budaya
dan agama.
“Jika
Tunjuk Ajar Melayu dapat dihadirkan dalam bentuk multimedia, video edukasi,
atau permainan interaktif, maka nilai-nilai moral bisa dipelajari secara
menyenangkan dan bermakna,” pungkasnya.
Melengkapi
sesi tersebut, Dr. Nova Dwiyanti, M.Kom memaparkan penelitian bertajuk “Komunikasi
Intuisi dalam Dakwah Digital.” Ia menjelaskan bahwa fenomena dakwah digital
di media sosial, khususnya di platform TikTok, menuntut pendekatan baru dalam
penyampaian pesan keagamaan. Melalui analisis semiotika terhadap ceramah Ustadz
Hanan Attaqi, Dr. Nova menemukan bahwa komunikasi intuitif menjadi kunci dalam
membangun kedekatan emosional dengan audiens digital.
Ia
mendefinisikan komunikasi intuisi sebagai proses penyampaian pesan yang
mengandalkan kepekaan batin, empati, dan persepsi nonverbal. Berdasarkan
analisis Roland Barthes, Hanan Attaqi memadukan bahasa populer dan ekspresi
intuitif untuk menyampaikan pesan spiritual yang relevan dan emosional.
“Generasi
muda tidak hanya ingin mendengar dakwah, tetapi juga merasakannya,” ungkap Dr.
Nova.
Kedua
narasumber dalam Special Panel 3 ini sepakat bahwa pendidikan, budaya,
dan dakwah harus bertransformasi secara inovatif di era digital. Melalui
kolaborasi antara kearifan lokal dan teknologi, STAIN Sultan Abdurrahman
Kepulauan Riau menegaskan komitmennya sebagai pusat pengembangan keilmuan Islam
dan kebudayaan Melayu yang progresif, adaptif, dan berwawasan global. (LF/Gby)
80 Paper dari 40 Kampus Nasional dan Internasional Warnai The 2nd IMSIC 2025 di STAIN SAR Kepri
TUTORIAL DAFTAR WISUDA MELALUI WEBSITE SIPENA STAINKEPRI