السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Menjawab Krisis Moral Global, Special Panel 3 The 2nd IMSIC 2025 STAIN SAR Kepri Gagas Kolaborasi Budaya dan Teknologi untuk Pendidikan Berkarakter

  • 12 November 2025
  • Oleh: Humas STAIN Kepri
  • 64
Berita Utama

Bintan, Kampus Bersendikan Wahyu Berteraskan Ilmu — Hari kedua pelaksanaan The 2nd Islamic and Malay Studies International Conference (IMSIC) 2025 di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sultan Abdurrahman Kepulauan Riau menampilkan Special Panel 3 bertajuk “Challenges and Innovations for Sustainable Society amid Digital Era.” Panel ilmiah ini menghadirkan dua narasumber, yakni Dr. Drs. Almahfuz, M.Si, Wakil Ketua II STAIN SAR Kepri, dan Dr. Nova Dwiyanti, M.Kom, Ketua Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) dengan Dr. Supri Yadin Hasibuan, M.Si sebagai moderator.

Diskusi ini menjadi ruang ilmiah yang mempertemukan dua perspektif penting: budaya dan teknologi. Kedua narasumber menyoroti tantangan pembentukan masyarakat berkelanjutan di tengah derasnya arus digitalisasi yang memengaruhi perilaku, pola pikir, dan karakter generasi muda.

Dalam presentasinya yang berjudul “Implementasi Tunjuk Ajar Melayu sebagai Benteng Karakter di Era Digital,” Dr. Almahfuz mengangkat keprihatinan terhadap meningkatnya krisis moral di kalangan remaja. Berdasarkan data nasional, tercatat lebih dari 14.000 kasus kenakalan dan kriminalitas remaja pada semester pertama tahun 2025. Menurutnya, angka tersebut mencerminkan lemahnya pendidikan karakter yang adaptif terhadap perubahan zaman.

Ia menilai bahwa era digital membawa paradoks sosial. Di satu sisi, teknologi memberikan kemudahan akses informasi, namun di sisi lain, menciptakan distraksi yang mengikis nilai-nilai etika dan spiritualitas.

“Kehilangan interaksi langsung dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat telah membuat generasi muda belajar nilai-nilai kehidupan dari layar, bukan dari keteladanan,” ujarnya.


Sebagai solusi, Tunjuk Ajar Melayu (TAM) ditawarkan sebagai alternatif penguatan moral dan spiritual di tengah transformasi digital. TAM, menurutnya, bukan sekadar warisan sastra klasik, tetapi kompas moral yang menuntun manusia untuk hidup beradab dan bertanggung jawab.

“Tunjuk Ajar Melayu adalah sumber nilai yang tak lekang oleh waktu, mengajarkan kejujuran, kesopanan, dan kearifan dalam bersikap,” tambahnya.

Lebih jauh, Dr. Almahfuz menekankan bahwa nilai-nilai dalam TAM sejatinya telah terintegrasi dengan ajaran Islam. Prinsip “adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah” menjadi bukti kuat bahwa kebudayaan Melayu tumbuh dalam kerangka spiritual yang kokoh.

“Adat semata Qur’an dan Sunnah adalah pedoman utama yang meneguhkan peradaban Melayu-Islam,” jelasnya.

Nilai-nilai universal yang terkandung dalam TAM meliputi ketakwaan, kejujuran, kedisiplinan, kerja keras, dan tanggung jawab sosial. Contohnya, ungkapan “Jujurnya sampai ke sumsum tulang” mengandung makna mendalam tentang integritas diri yang menjadi dasar dalam membangun masyarakat bermoral.

Dalam konteks pendidikan modern, Dr. Almahfuz mengusulkan integrasi Tunjuk Ajar Melayu dalam kurikulum digital. Ia menilai, pendidikan karakter tidak lagi dapat disampaikan hanya secara konvensional, tetapi perlu ditransformasikan ke dalam bentuk interaktif dan adaptif terhadap gaya belajar generasi digital-native.

Strategi implementasi yang diusulkan mencakup pengembangan modul digital interaktif berbasis sastra Melayu klasik seperti Hikayat Bayan Budiman, yang dapat menginternalisasi nilai-nilai karakter melalui narasi edukatif. Selain itu, nyanyian rakyat Melayu seperti Lagu Melayu Sambas juga dinilai efektif karena mengandung hingga 14 nilai karakter utama, termasuk religiusitas, disiplin, dan tanggung jawab sosial.


Ia menegaskan bahwa digitalisasi seharusnya tidak dipandang sebagai ancaman, melainkan peluang untuk memperluas akses penyebaran nilai-nilai luhur budaya dan agama.

“Jika Tunjuk Ajar Melayu dapat dihadirkan dalam bentuk multimedia, video edukasi, atau permainan interaktif, maka nilai-nilai moral bisa dipelajari secara menyenangkan dan bermakna,” pungkasnya.

Melengkapi sesi tersebut, Dr. Nova Dwiyanti, M.Kom memaparkan penelitian bertajuk “Komunikasi Intuisi dalam Dakwah Digital.” Ia menjelaskan bahwa fenomena dakwah digital di media sosial, khususnya di platform TikTok, menuntut pendekatan baru dalam penyampaian pesan keagamaan. Melalui analisis semiotika terhadap ceramah Ustadz Hanan Attaqi, Dr. Nova menemukan bahwa komunikasi intuitif menjadi kunci dalam membangun kedekatan emosional dengan audiens digital.

Ia mendefinisikan komunikasi intuisi sebagai proses penyampaian pesan yang mengandalkan kepekaan batin, empati, dan persepsi nonverbal. Berdasarkan analisis Roland Barthes, Hanan Attaqi memadukan bahasa populer dan ekspresi intuitif untuk menyampaikan pesan spiritual yang relevan dan emosional.

“Generasi muda tidak hanya ingin mendengar dakwah, tetapi juga merasakannya,” ungkap Dr. Nova.

Kedua narasumber dalam Special Panel 3 ini sepakat bahwa pendidikan, budaya, dan dakwah harus bertransformasi secara inovatif di era digital. Melalui kolaborasi antara kearifan lokal dan teknologi, STAIN Sultan Abdurrahman Kepulauan Riau menegaskan komitmennya sebagai pusat pengembangan keilmuan Islam dan kebudayaan Melayu yang progresif, adaptif, dan berwawasan global. (LF/Gby)