السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

[Artikel] KDRT Aib Atau Kezhaliman Yang Boleh Dibuka?

  • 06 Februari 2022
  • Oleh: Humas STAIN Kepri
  • 4051
Berita Utama

Bintan, Kampus Bersendikan Wahyu, Berteraskan IlmuSaat ini sedang marak pro dan kontra ceramah ustadzah Oki Setiana Dewi soal KDRT. Ceramahnya mengundang berbagai kalangan akademisi, dai, aktifis gender, dan tokoh publik “angkat suara” seolah tak ingin bungkam khawatir publik memahami ceramahnya menjadi pembenaran meromantisasi KDRT, apalagi mengatasnamakan agama.

Menanggapi hal tersebut, “Oke..Fine!!”. Tidak ada yang salah tentang narasi kisah nyata yang diceritakan oleh ustazah OSD. Ini sangat inspiratif bukan? Bagaimana kelembutan dan kemuliaan seorang istri, mampu menyadarkan suami untuk tidak berprilaku kasar dan menyanyangi istrinya kembali. Ini juga memberikan teladan yang baik, bagaimana konflik keluarga itu dikelola dengan baik.

Namun, ada banyak pesan minim empati yang disampaikannya. Pertama, simplifikasi KDRT yang dianggapnya sebagai persoalan mengumbar aib, lebay, tidak sabar, dan lemah iman. Jujurly, saya yang notabenenya perempuan shock juga sih dengernya. Karena ini jelas mengabaikan pengalaman perempuan dan menvalidasi stereotyping “perempuan itu emosional dan lebay soal perasaan.” Kedua, KDRT juga dianggapnya sama dengan membuka aib suami. Sure..?

Benarkah KDRT adalah aib yang harus ditutup rapat suami-istri? Bagaimanakah teks-teks keagamaan berbicara tentang KDRT?

KDRT bukanlah prilaku islami. Lantas, bagaimana dengan ayat yang membolehkan suami memukul istri yang nusyuz (Q.S An-Nisa, 4:34) dan seringkali dijadikan dalih legitimasi KDRT?. Para mufasir seperti al-Thabari, Ibnu Katsir, hingga Jalalain sepakat bahwa lafaz dharaba yang dimaksud ayat ini adalah dharban ghairu mubarrih (pukulan yang tidak menyakitkan). Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar pun menjelaskan bahwa lafaz dharaba pada ayat ini tidak bisa dimaknai secara harfiah, tetapi secara metaforis dalam arti mendidik atau memberi pelajaran. Begitupun Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir mengatakan bahwa lafaz dharaba adalah simbol mengenai larangan melanggar aturan yang apabila dilanggar, maka suami boleh menegakkan aturan seperti memukul istri dengan kayu siwak pada bahu sebanyak 3x. Makna lain dharaba juga bisa diartikan al-safar wa al-ib’ad ( bepergian jauh). Artinya untuk meredakan perselisihan suami-istri bisa dengan pisah ranjang atau travelling sementara ke tempat yang menenangkan untuk bermuhasabah diri. Makna ini lebih relevan dimaknai dan sangat manusiawi.

Imam Syafi’i memandang KDRT bukanlah perilaku Nabi Saw. Ini bisa dibuktikan pada teks hadist yang tercatat diberbagai kitab hadist, seperti Sahih Muslim, bahwa Nabi Saw tidak pernah memukul perempuan, dalam kondisi apapun ( Sahih Muslim, no 6195). Imam al-Nawawi dalam karyanya al-Adzkar li al- Nawawi menyebutkan ada beberapa kondisi dimana seseorang diperbolehkan membuka aib orang lain. Diantaranya ketika melaporkan sebuah kezhaliman. Oleh karena itu dalam Islam, ketika seseorang mengalami kezholiman bisa melaporkannya kepada penguasa, polisi, hakim, dll. Dan ini juga menjadi sebab mengapa sejumlah negara mendesak pemerintahnya membuat UU yang melarang dan mempidanakan mereka yang memukul istri. Penting bagi kita untuk sama-sama membaca ulang pasal-pasal UU PKDRT. Ironisnya, meski negara sudah melindungi tetap saja isu KDRT ini seperti Gunung Es. Semakin banyak kasusnya, namun banyak juga yang bungkam!. Wallahu ‘alam ...

Penulis: Zulfa Hudiyani, M.A | Editor: Luluk Fatimah, S.Pd